Warga Bekasi Diteror Pinjol








Illustrasi Pinjol

Dua bulan belakangan ini, hidup Wawan Hermawan (36) merasa tidak nyaman. Hampir setiap hari, warga Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur ini harus menghadapi “teror” berupa tagihan utang dari aplikasi pinjaman online (pinjol).
Bukan hanya menagih, debt collector pun menebar ancaman. Paling parah, si penagih menghubungi sejumlah orang di daftar kontak telepon selularnya, baik melalui pesan singkat maupun sambungan telepon, hanya untuk mengumumkan kalau Wawan punya utang.
Ya, entitas fintech peer-to-peer atau Pinjol ilegal menjerat sejumlah warga Bekasi. Syarat yang mudah dan singkatnya waktu dalam proses pinjaman uang, menggiurkan warga yang dirundung kebutuhan mendesak. Pinjol juga dimanfaatkan warga Bekasi saat masa pandemi ini.
Wawan mengaku, pada Maret 2020 lalu meminjam uang pada beberapa entitas fintech. Pinjaman yang diajukan mulai Rp 600 ribu hingga Rp 1,2 juta. Namun, tidak sepenuhnya uang yang diterima sesuai dengan pengajuan. Untuk pinjaman sebesar Rp 600 ribu, diterima hanya Rp 380 ribu. Sedangkan pinjaman Rp 1,2 juta, diterima hanya Rp 980 ribu.
Tidak hanya itu, besaran bunga pinjaman pun dianggap tidak wajar. Uang yang semula ia pinjam Rp 1,2 juta, dua bulan berikutnya beranak pinak hingga mencapai Rp 11,4 juta. “Jauh (jumlah tagihan dibandingkan nominal yang dipinjam). Jadi kalau kita telat membayar itu, bunga per harinya itu kali lipat, ada yang Rp 100 ribu (per hari),” ungkapnya kepada Radar Bekasi, Selasa (21/7).
Hingga saat ini pinjaman yang ia terima tidak terbayar lunas, padahal sudah menghabiskan uang Rp 40 juta, hingga usaha yang ia miliki bangkrut. Otomatis, Wawan mengarungi masa pandemi ini di tengah teror debt collector, bahkan diancam akan dilaporkan polisi.
Saat ini, masih saja satu dua debt collector dari entitas fintech menghubunginya. Namun ia memilih untuk mengabaikan setiap telpon, pesan WhatsApp, hingga pesan singkat yang diterima. Alasannya, karena uang yang ia keluarkan sudah terlampau jauh perbandingannya dengan uang yang ia pinjam.
Syarat pinjaman diakui Wawan sangat mudah, terlebih dalam situasi mendesak. Hanya foto kartu Tanda Penduduk (KTP) dan izin untuk mengakses isi HP, termasuk kontak. Setelah kurun waktu lima bulan, ia terheran-heran ketika mengetahui semua kontak di dalam telepon genggamnya dihubungi debt collector. “Saya jadi omongan orang, karena semua kontak yang ada di hp saya dihubungin. Kalau nggak kita setujuin (akses kontak) ya nggak cair uang itu,” katanya.
Hampir setiap 10 menit sekali ia dihubungi oleh nomor tidak dikenal, dengan nomor dan orang yang berbeda-beda.”Katanya saya mau dilaporin ke polisi ya udah laporin aja saya sudah pasrah, mau mati mau apa sudah pasrah saya,” tukasnya.
Dia mengingatkan kepada warga Kota Bekasi lainnya untuk tidak berurusan dengan entitas fintech. Dia juha meminta kepada pemerintah untuk memberantas entitas fintech ilegal, terutama bagi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang kesulitan persyaratan untuk mengajukan pinjaman uang di bank.
“Kalau bisa ya diberantas lah yang ilegal itu, terus kalau yang resmi itu ditertibkan lah, banyak juga yang nakal,” tandasnya.
Pengalaman serupa juga dialami warga Bekasi lainnya, Roryta Argarini (38). Ibu dua orang ini juga mendapat teror meskipun hanya sebagai rekan dari temannya yang meminjam. Telepon tak dikenal hingga pesan singkat kerap datang, berisi permintaan untuk mengingatkan tagihan, bahkan hingga menggunakan bahasa kasar. Karena nomor teleponnya berada dalamkontak rekannya yang berurusan dengan Pinjol. “Random memang yang di telpon, beberapa temen (pinjam online) itu saya yang kena terus di telpon (debt collector),” ungkapnya.
Sebelum datang telepon tidak dikenal, rekannya telah lebih dulu memberikan informasi. Setelah diketahui rekan Roryta berurusan dengan banyak entitas fintech. “Kalau isi smsnya kayaknya udah kasar ya karena nggak bayar-bayar, kalau telepon cuma kaya minta tolong ngingetin ya ke temen kalo ada tagihan disini gitu,” lanjut warga Arenjaya ini.
Sementara itu, Senior Vice President Coorporate Communication salah satu fintech lending Akseleran, Rimba Laut kepada Radar Bekasi mengatakan, kehadiran perusahaan Pinjol ilegal ini merugikan masyarakat, terutama pada masa pandemi Covid-19 ini. Modus yang digunakan untuk menggaet nasabah disebut masih modus lama, yakni dengan proses yang cepat dan tidak tidak berbelit.
“Pemain ilegal tersebut biasanya mencuri data pribadi, serta menerapkan bunga yang sangat tinggi, di luar aturan yang ada. Penagihannya pun dilakukan dengan semena-mena,” katanya.
Kata dia, Pinjol ilegal biasanya mengenakan bunga lebih tinggi dari 0,8 persen dan meminta untuk mengakses semua data telepon genggam.”Jangan berhubungan dengan fintech ilegal, sebab nanti baru menyesal dibelakang,” ungkapnya.
Ketua Satgas waspada investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam L. Tobing mengungkapkan keberadaan Pinjol ilegal ini sangat membahayakan masyarakat. “Bunganya tidak terbatas, dendanya tidak terbatas, dan yang paling utama adalah mereka selalu melakukan teror intimidasi atau penagihan tidak berpihak kalau nasabah tidak membayar,” ungkapnya.
Saat ini hanya ada 158 perusahaan Pinjol yang terdaftar di OJK, sejak tahun 2018, tercatat 2.591 Pinjol ilegal yang dihentikan oleh Satgas waspada investasi. Masyarakat diminta untuk mengajukan pinjaman hanya kepada perusahaan Pinjol legal, dengan ciri-ciri terdaftar di OJK, syarat yang dibutuhkan cukup mudah, dan memerlukan izin dari nasabah untuk mengakses data-data di HP.”Jadi ini masalah yang terjadi pada yang meminjam, selain data kita yang disebarkan, data orang lain juga, karena data kita ada di HP dia,” lanjut Tongam.
Masyarakat yang mengalami intimidasi, pelecehan, atau data pribadinya disebar luaskan untuk segera melapor kepada pihak kepolisian. Dia menyarankan agar warga meminjam uang kepada entitas fintech lending yang terdaftar di OJK.
Selain merugikan masyarakat, perusahaan Pinjol ilegal ini juga merugikan negara. Diantaranya tidak mendapatkan potensi pajak atau penerimaan negara lainnya.Selain itu, negara tidak bisa mendapatkan data riil mengenai potensi pinjaman di tengah masyarakat.
Fintech lending, katanya dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan dana masyarakat yang tidak terlayani oleh sektor keuangan formal seperti bank, perusahaan pembiayaan, hingga pegadaian.
“Ya itu lah mereka ini kan kalau kita katakan seperti mafia yang merugikan masyarakat, jadi mereka ini bisa jadi satu komplotan juga untuk menipu masyarakat,” tandasnya. (sur/mhf)

sumber :RADARBEKASI.ID

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Populer